Penggusuran dan Dilema Peremajaan Kota

Kalau penggusuran identik dengan pemaksaan, beda dengan Peremajaan Kota (urban renewal) yang berarti menata dan warga masih berhak tinggal.

Mengapa penggusuran menjadi momok bagi warga Jakarta? Baik menduduki tanah orang, tanah negara, maupun tanah hak milik sendiri? Penggusuran adalah terminologi yang mungkin tepat bagi orang atau sekelompok orang yang menduduki tanah bukan miliknya. Namun dalam konteks penggusuran orang atau sekelompok orang, terhadap tanah miliknya sendiri karena terkait rencana penataan kota, istilah yang tepat adalah Peremajaan Kota atau sering disebut Urban Renewal.

Peremajaan kota adalah keniscayaan. Mengapa? Karena pembangunan kota merupakan kebutuhan warga atas akses, pemukimaan dan fasilitas publik lainnya.

Gaya hidup masyarakat selalu mengalami perubahan mengikuti zamannya. Hal ini dipengaruhi juga oleh perkembangan pendidikan yang membuat masyarakat menjadi kreatif dan inovatif. Pendidikan telah menjadi eskalator yang mengubah harkat kesejahteraan setiap warga. Oleh karenanya peremajaan kota diperlukan untuk menunjang kehidupan.

Perumahan dan pemukiman adalah bagian terbesar dari ruang kota. Pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta tahun 2010, alokasi lahan untuk pemukiman seluas 37,21% dari luas Kota Jakarta yaitu sebesar 25.477,68 HA. Padahal tahun 2001, luas pemukiman Jakarta telah mencapai seluas 43.475,09 HA. Hal ini berarti Pemerintah harus mengurangi luas sebesar 17.997,41 HA.

Jika diasumsikan bahwa yang digusur/dibongkar adalah pemukiman kumuh yang padatnya rata-rata 300 orang per HA, maka yang tergusur adalah 5,4 juta orang, dan semuanya berasal dari kelas bawah. * (Jurnal Lingkungan Program Studi Ilmu Lingkungan oleh Dr.Bianpoen). Karena itu, kota memerlukan efisiensi dan menjadi kota yang kompak atau sering disebut Compact City yang dapat menjadi tempat tinggal warganya.

Kelak, momok penggusuran akan hilang, yang ada hanya peremajaan kota. Rencana tata kota hari ini telah banyak menyandera warga kota. Banyak tanah milik warga yang tidak bisa dibangun/direnovasi bahkan dijual karena tersandera rencana kota. Padahal hakikinya kota itu dibangun untuk apa dan untuk siapa?. Peremajaan kota harus dilakukan dengan cara transparan dengan mengedepankan manusia dan memberdayakan warga melalui proses partisipasi warga. Dimulai dari pemetaan, perencanaan dan manajemen waktu yang baik dan benar. Dengan demikian, kota kita akan tertata tanpa merugikan warganya.

Hasil dari peremajaan kota antara lain, rumah susun, rumah deret, bedah rumah, dan sebagainya. Prinsip utama yang membedakannya adalah semua keputusan melalui proses transparan dan melibatkan warga.