Saat Anies Menjawab Najwa dan Pesan Habib Luthfi bin Yahya

Dalam penutup Mata Najwa, Najwa Shihab bertanya: “Pilkada yang berlangsung selama hampir kurang lebih 6 bulan ini dipenuhi tensi politik yang tinggi. Diskusi publik yang beragam dan sengit, jika terpilih apa rencana Anda untuk memulihkan kembali kerukunan berwarga, khususnya kerukunan umat beragama pasca pilkada?”

Mas Anies diberi kesempatan pertama untuk menjawab. Jawaban Mas Anies adalah refleksi dari pengalaman ini.

*

Selepas sebuah rapat koordinasi di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Anies berbincang santai dengan beberapa stafnya di ruangannya di Senayan, Sudirman. Ngalor-ngidul obrolannya, sampai kemudian membahas Jakarta. Kondisinya sedang agak panas saat itu, setelah Pak Basuki memarahi Ibu Yusri yang mengeluhkan sistem Kartu Jakarta Pintar (KJP). Riak-riak pertentangan dari bawah yang terkena imbas kebijakan Pak Basuki mulai membesar.

Tak banyak yang kami ketahui saat itu mengenai Jakarta kecuali melalui berita dan cerita-cerita yang berkembang di lapangan berdasarkan pengalaman sejumlah teman. Mas Anies berkomentar pendek saja saat itu, “Siapa pun yang masuk gelanggang Pilkada DKI Jakarta ini pasti merasakan lecet-lecet. Tapi, kalau dibiarkan terus seperti ini, kondisinya akan terus panas. Kita lihat nanti siapa yang berlaga dan kita harapkan yang muncul nanti sesudah pilkada bisa mendinginkan suasana.”

Perbincangan itu terjadi pada hari-hari pertama tahun 2016. Masih sangat jauh dari hiruk-pikuk, dan Mas Anies beberapa hari sebelumnya baru saja melakukan terobosan dalam birokrasi dengan melantik pejabat eselon 1 non-PNS, yaitu Dr. Hilmar Farid sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan. Tak ada satu pun orang yang terlibat dalam perbincangan itu menduga apalagi tahu bahwa justru Mas Anieslah yang ternyata ditakdirkan utk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dan dia sendiri yang ternyata akan menjalani pernyataannya.

Mas Anies kian kukuh mengambil jalan ini setelah mendapatkan pesan dari Rais Am Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya.

*

Pada 18 September 2016 Mas Anies mengutus Mas Chozin Amirullah untuk sowan kepada Habib Luthfi di Pekalongan, Jawa Tengah. Mas Chozin ini Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2009-2011 dan santri bila syartin paman Gus Dur, Kyai Yusuf Hasyim (Pak Ud), pengasuh pesantren Tebu Ireng, Jombang. Mas Anies sendiri tak bisa keluar dari Jakarta untuk mendengarkan sejumlah saran dari kolega dan teman-teman lainnya, sembari menunggu keputusan yang kapan pun membutuhkannya. Perjalanan Jakarta-Pekalongan membutuhkan setidaknya sehari setengah, sementara perkembangan politik terjadi dalam hitungan jam.

Hari-hari pertengahan September 2016 itu memang masa-masa penting. Itu masa-masa Mas Anies mempertimbangkan undangan dari partai politik. Beberapa hari sebelumnya Mas Anies didatangi sejumlah pengurus partai politik yang memintanya maju sebagai calon Gubernur DKI. Mereka mendatangi Mas Anies di RS Mayapada, karena Mas Anies terserang demam berdarah. Karena sakit ini pula akhirnya Mas Anies membatalkan jadwal penerbangannya ke New York untuk memberikan ceramah di Asia Society yang bersamaan dengan Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Mas Anies meminta izin kepada pengurus partai politik untuk memikirkan jawabannya.

Sebagaimana kebiasaannya, Mas Anies selalu meminta pertimbangan dan masukan dari keluarga, kolega, sahabat, dan ulama. Salah satu yang menjadi referensinya untuk dimintai nasihat soal ini adalah Habib Luthfi bin Yahya. Ulama kharismatik dari Pekalongan ini menyampaikan sejumlah nasihat kepada Mas Anies melalui Mas Chozin.

Salah satu pesan penting itu berupa mengatasi kondisi Jakarta yang sedang “hangat”. Rupanya Habib memerhatikan hal ini. “Mereka yang mengeras ini bisa jadi karena memang pendekatanmu kurang. Dekatilah dengan baik,” kata Habib Luthfi.

Begitu pesan Habib Luthfi disampaikan, Mas Anies menjawab: “Kalau begitu kita jalani nasihat dari beliau. Bismillah.”

Dua hari kemudian Mas Anies ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selanjutnya, dia menjalani pernyataannya sendiri tentang upayanya mendinginkan suasana yang panas dan mendatangi semua pihak di Jakarta. Dia berdiskusi dengan para pengusaha, nelayan, seniman, budayawan, ulama, habaib, pendeta, biksu. Dia mendatangi berbagai organisasi/lembaga yang mengundangnya.

Dalam masa-masa kampaye ini Mas Anies beberapa kali bertemu dengan Habib Luthfi, baik di rumahnya di Pekalongan maupun di Jakarta. Pada 8 Januari 2017, Habib berpesan kepada Mas Anies agar menjadi pemimpin yang mau mendengarkan. Ketika berada di Jakarta, Habib juga mengundang Anies untuk ke rumahnya di bilangan Jakarta Timur. Seluruh pertemuan itu sifatnya pribadi antarmereka berdua. Selain berbincang santai dan mendiskusikan masalah-masalah di lapangan, Mas Anies kerap mendapatkan nasihat-nasihat penting dari beliau.

 

Dan, dalam pertemuan pribadi pada Rabu 29 Maret dan Jumat 31 Maret 2017 Habib Luthfi menekankan kembali pesannya, “Datangi semuanya.” Beliau juga menitipkan pesan kepada Mas Anies agar menjaga persatuan, menghormati semua, dan jaga amanah sebaik-baiknya.

 

Setelah diskusi, Habib Luthfi mengajak Mas Anies ke studio musiknya, sembari menunggu waktu berbuka puasa. Habib puasa Rajab. Mas Anies melihat bagaimana Habib meresapi musik selama kurang lebih 3 jam. Abah, panggilan akrab Habib Luthfi, juga mengajak Mas Anies bernyanyi Padang Bulan. Rabu, 28/3/17.

Habib Luthfi mengajak Mas Anies hadir dalam pengajian Kliwonan, pada 31/3/17.


Pesan inilah yang beberapa hari sebelumnya Mas Anies sampaikan untuk menjawab pertanyaan Najwa Shihab. Bila menjadi Gubernur DKI Jakarta, Mas Anies akan:

“Yang pertama adalah menjangkau semua. Gubernur menjangkau semua, bukan hanya menjalankan program. Tapi, merawat kebinekaan, memastikan hukum tegak untuk semua dan bisa berkomunikasi dengan siapa saja yang ada di Jakarta. Gubernur harus menjadi Gubernur semuanya. Yang tidak kalah penting adalah Gubernur ini memfasilitasi dialog. Jika saya menjadi Gubernur maka saya akan fasilitasi dialog pihak-pihak yang berbeda. Baik itu sosio-ekonomi, atas bawah ataupun pandangan ideologi, kanan-kiri. Bisa dialog, saya jangkau semuanya untuk komunikasi. Supaya apa?

“Kota ini bisa menjadi cermin. Di Indonesia, tidak ada kota yang lebih bhineka daripada Jakarta. Tapi, yang tidak kalah penting, kalau kita terus seperti sekarang, sumber provokasi masih ada ya akan selalu muncul masalah. Yang tadi saya katakan, kalau Gubernurnya justru menjadi provokator problem, kenapa, karena tidak sensitive dan menggunakan justru ekspresi-ekspresi yang tidak perlu. Gubernur tidak usah masuk ke sana. Di Jakarta sudah punya 17 gubernur, nggak ada itu gubernur-gubernur yang provokasi-provokasi. Karena itu, justru kalau saya menjadi gubernur kata-kata saya harus merekatkan, bukan meretakkan. Kata-kata saya harus membangun suasana persatuan, bukan justru malah mengkotak-kotakkan. Ini yang akan saya lakukan ketika bertugas, untuk memastikan Jakarta tetap bineka, Jakarta tetap tegak hukum dan suasana persatuan tetap ada di Jakarta.”

Sumber: https://husnil.id/2017/04/1097/