Nak, Ayah Akan Kembali Ke Medan Perang

Oleh: Herry Dharmawan
Pengajar Muda IV, Program Manager Turun Tangan.

“Melihatnya masuk ke dunia politik rasanya seperti seorang anak yang melepas kepergian ayah ke medan perang, khawatir ia tak pulang kembali dari pertempuran.”

Itu penggalan cuitan saya di bulan Agustus 2013 lalu. Saat di mana sebuah keputusan yang berdampak bagi kami para pengajar muda dan para pegiat gerakan Indonesia Mengajar lainnya.

Saat itu sang pendiri gerakan, Mas Anies Baswedan, menerima sebuah undangan untuk mengikuti konvensi calon presiden di sebuah partai. Baginya ini bukan sekadar sedang memasuki ranah politik, namun lebih jauh lagi ia menerima sebuah tantangan untuk ikut mengurusi republik. Konsekuensinya jelas, ia harus mengundurkan diri dari gerakan pendidikan yang dibesarkannya ini.

Bagi sebagian besar dari kami dia memang menjadi sosok seorang ayah. Ayah ideologis tepatnya. Selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam pelatihan tiap angkatan dan mengobarkan semangat untuk mengabdi selama setahun mengajar di pelosok negeri. Kata-katanya yang legendaris bagi kami adalah, “Ini bukan sebuah pengorbanan, melainkan sebuah kehormatan. Kalian akan hadir di sana dan meninggalkan tanda pahala yang tak kan hilang ditelan zaman.” Bagi kami, dia terasa dekat dan menginspirasi.

Namun, setelah adanya kabar tentang langkah politiknya, tak sedikit yang kecewa. Saya pun termasuk dalam barisan itu. Bukan karena apa-apa, tapi seperti yang saya kutip di awal, kami mengkhawatirkan “ayah” kami ini hilang ditelan rimba politik. Terlebih lagi tak lama sebelum itu ada berita tentang sosok pendidik yang pernah menjadi dosen teladan di sebuah kampus negeri, namun berakhir menjadi pesakitan di KPK akibat korupsi di sektor energi.

Saya mencoba memahami keputusan beliau. Saya mencari segala penjelasan dengan bertanya pada kolega dan pengurus Indonesia Mengajar. Beruntung tak lama setelah itu datang email penjelasan dari beliau secara personal kepada semua pegiat Indonesia Mengajar, ditambah adanya video terbaru darinya yang berjudul “Saya siap turun tangan ikut melunasi janji kemerdekaan.”

Setelah itu saya baru tersadar bahwa ini bukan pertempuran miliknya semata. Seharusnya ini menjadi pertempuran kita semua.

Bahwa ada begitu banyak keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di ranah politik. Orang-orang yang ada dalam politik itulah yang mewakili kita selama 24 jam dalam sehari, 365 hari dalam setahun untuk mengambil keputusan penting. Namun, kebanyakan dari kita justru memilih menjauhinya. Padahal seharusnya kita harus terus mendorong orang-orang baik masuk politik untuk memperjuangkan perubahan di dalam sana.

Dalam kesempatan lain, Mas Anies juga bercerita betapa Indonesia Mengajar sekalipun takkan bisa sepenuhnya menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia. Karena apa yang kami lakukan hanya akan menjadi katalisator perubahan di beberapa titik penempatan. Padahal di luar sana ada pengambil kebijakan yang memegang sumber daya luar biasa: dana trilyunan dan mampu menggerakkan ribuan aparat sipil dan birokrat untuk memberikan dampak yang lebih besar. Itulah titik awal yang membuat saya mengambil keputusan untuk ikut mendukungnya memasuki gelanggang politik.


Relawan Tak Ternilai

Di awal tahun 2014, saya bergabung bersama Gerakan Turun Tangan. Gerakan kerelawanan ini menjadi tempat saya mendapatkan pengalaman baru tentang politik. Jika sebelumnya saya memiliki persepsi bahwa politik itu kotor dan penuh intrik, di gerakan kerelawanan ini saya justru melihat bahwa berpolitik itu bisa dijalani dengan terhormat.

Jika saat itu di musim kampanye begitu banyak politisi mengambil jalan pintas dengan membayar masyarakat untuk mendukung dirinya, kami di Turun Tangan justru bangga bahwa harga diri kami tak terbayar.

Tidak ada spanduk dan iklan di TV. Yang kami lakukan adalah memperkenalkan sosok dan gagasan Mas Anies Baswedan melalui diskusi di warung-warung kopi. Jika mereka sepakat dengan idenya, maka kami ajak mereka untuk bergabung menjadi relawan dan mengenalkan sosok Anies Baswedan melalui kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya kawan-kawan di Depok yang mengadakan kegiatan membantu penyeberang di Jalan Margonda, kegiatan pungut sampah di Medan, try out gratis persiapan UN di Bandung, dan sebagainya. Kami melakukan hal tersebut karena kami percaya jika para politisi melakukan pola kampanye seperti ini, maka kualitas demokrasi kita akan semakin membaik.

Di pertengahan tahun 2014, konvensi dinyatakan usai namun semangat para relawan untuk turun tangan tak pernah padam. Berbeda dengan organisasi relawan yang tumbuh bak cendawan di masa itu, kebanyakan dari mereka cenderung membubarkan diri seusai pesta demokrasi. Tetapi para relawan masih aktif bergerak hingga saat ini karena mereka sepakat dengan gagasan yang dibawa Anies Baswedan. Gagasan bahwa Indonesia ini milik kita semua dan kita harus ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan sekecil apapun.

Tak lama setelah konvensi, beliau diangkat menjadi juru bicara tim Jokowi. Tentu tantangan semakin membesar karena makin sarat kepentingan pragmatis. Namun ada pelajaran menarik yang bisa saya dapatkan di fase ini. Sejauh pengetahuan saya, beliau diangkat bukan karena memiliki basis politik (partai) dan uang seperti timses pada umumnya, tetapi karena gagasan dan karyanya. Sosoknya hadir dengan memberikan nuansa baru pada kampanye yang saat itu dipenuhi perang fitnah. Kemampuan komunikasi publiknya yang di atas rata-rata berhasil membuat anak-anak muda tertarik bergabung dan mendukung Jokowi.

Setelah Jokowi memenangkan pilpres, kita semua tahu ia diamanahkan menjadi Mendikbud. Bagi sebagian besar pegiat pendidikan, kehadirannya membawa nuansa baru. Tak seperti para pejabat pada umumnya, sosok menteri yang baru ini seakan tidak berjarak dan membawa aura optimisme yang selama ini absen dalam rutinitas keseharian mereka.

Bagi saya, mendengar kiprahnya di kementerian merupakan rentetan pelajaran tentang kepemimpinan. Mas Anies menjalani apa yang ia katakan, bahwa pemimpin hadir untuk mengirimkan pesan dan membawa makna dalam setiap kerja. Sebagai contoh, ia mengawali kepemimpinannya dengan mengadakan kumpul bersama seluruh jajaran di gedung kementerian. Di sana Mas Menteri, begitu ia ingin dipanggil, menumbuhkan kebanggaan dalam diri para birokrat di kementerian. Ia menyampaikan bahwa hasil kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang takkan dapat dilihat langsung secara kasat mata, namun akan berpengaruh signifikan bagi masa depan Indonesia 20-30 tahun mendatang. Di sisi lain, beliau pun menanamkan rasa tanggungjawab dengan mengingatkan bahwa semua warga negara Indonesia pasti pernah bersentuhan langsung dengan kebijakan kementerian pendidikan. Walhasil seperti cerita yang saya dapatkan dari seorang teman PNS, dia menjadi saksi bagaimana suasana yang terbangun lebih akrab dan optimis dibandingkan sebelumnya.

Tak hanya itu, selama menjabat Mas Menteri juga serius dalam melakukan reformasi birokrasi. Salah satu contoh terbaiknya adalah dengan adanya lelang jabatan, di mana ada seorang pejabat yang memulai kariernya dari office boy dan akhirnya terpilih menjadi dirjen. Ada juga aktivis non PNS yang terpilih menjadi Dirjen Kebudayaan. Dari situ Mas Anies seakan mengirimkan pesan bahwa semua orang bisa menempati posisi terbaik dalam budaya meritokrasi, kunci keberhasilan birokrasi di semua negara maju.

Dari gaya kepemimpinan pun beliau memperlihatkan bahwa tegas beda dengan beringas. Seseorang bisa memimpin dengan bersih dan tegas namun tanpa harus menyakiti perasaan banyak orang. Kami memang tidak pernah mendengar Mas Anies marah-marah kepada bawahannya seperti yang dicitrakan sebagai ketegasan oleh pemimpin-pemimpin lain di luar sana. Tetapi apakah menghentikan praktik perpeloncoan di sekolah bukan contoh ketegasan skala nasional yang telah dia lakukan? Atau di kala Mas Anies dengan cepat menindak oknum pembocor soal UN dan bahkan mengirimkan surat bercap kementerian kepada perusahaan raksasa Google untuk menghentikan penyebaran bocoran jawaban?

Contoh lain dalam pelajaran kepemimpinan adalah kemampuannya untuk menggerakkan lintas elemen melalui visi bersama dengan bahasa yang sederhana, yaitu “pendidikan sebagai gerakan”. Pesan itu dengan mudah ditangkap bahkan oleh orang-orang di luar ekosistem pendidikan. Contoh terbaiknya adalah dengan adanya gerakan mengantar anak ke sekolah yang diikuti jutaan orang tua di seluruh Indonesia. Beliau membuktikan bahwa aktor yang berkualitas akan memberikan dampak terbaik, apapun peran yang diberikan.


Untuk Jakarta

Kini tak lama setelah beliau dicukupkan dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, namanya masuk dalam radar partai politik dan menjadi salah satu tokoh yang diharapkan bisa membawa perubahan di Jakarta.

Namun kali ini berbeda dengan kebimbangan saya ketika di awal beliau masuk politik. Saat ini saya justru merasa harus semakin all out untuk mendukung pergantian kepemimpinan di kota kelahiran saya. Kenapa? Karena di bulan November lalu saya baru saja kedatangan anggota keluarga baru. Seorang anak lelaki yang kelak akan tumbuh dan besar di kota Jakarta. Dan saya tidak ingin anak saya kelak mencontoh pemimpin yang berkata-kata kasar, yang bahkan dianggap keren oleh para pendukungnya.

Justru dalam kesempatan ini saya semakin mantap untuk berjuang bersama Anies Baswedan. Kali ini sebagai ayah, saya yang akan mengatakan kepada anak saya, “Nak, Ayah akan kembali ke medan perang.”