Jakarta & Mimpi Yang Tak Terbeli: Lamunan Dari Pantai Mutiara

“Ded, Minggu besok kamu ikut makan malam dengan keluargaku yah”, ujar pacarku di awal pekan lalu. Dia akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga besarnya di sebuah rumah makan bagus yang direkomendasikan oleh tantenya. Saya, tentu saja, tidak akan menolak traktiran istimewa ini.

Berangkat dari rumahnya di Kelapa Gading, kami pergi ke ujung utara Jakarta, ke sebuah restoran di Pantai Mutiara. Restorannya memang bagus, terutama karena lokasinya berada di tepi kanal laut yang jadi keistimewaan kawasan ini. Sambil menyantap ikan bakar saya bisa merasakan suasana laut tanpa bau amis khas pantai, dihiasi dengan deretan apartemen mewah di kiri kanan, dan yacht pribadi yang ditambatkan di beranda belakang rumah sang pemilik. Ditambah dengan makanan yang lezat dan para pramusaji yang ramah, suasana malam itu begitu sempurna.

Ya, sempurna, sampai entah kenapa saya tenggelam dalam sebuah lamunan panjang yang lalu membuat saya menulis tulisan ini.

Sambil makan saya melihat sekeliling, memandangi para keluarga yang dengan hangatnya sedang berkumpul bersama.

 

Saya menyadari satu hal: di seluruh pojok rumah makan itu, semua pengunjungnya tidak jauh beda penampakannya dengan saya. Berasal dari golongan yang sama, kelompok sosial yang sama, dan (mungkin) kawasan tinggal yang sama pula.

 

Saya tertegun, menyadari bahwa kadang-kadang di mana kita dilahirkan menentukan di mana kita berada nantinya. Saya membayangkan para nelayan yang berkarib dengan pantai utara Jakarta sejak nenek moyang mereka. Apakah akan ada satu masa di dalam hidup mereka di mana mereka bisa juga duduk menikmati pantai yang jadi bagian hidup mereka dengan cara seperti saya menikmatinya malam ini? Memang betul, di saat kita merasa beruntung, sesungguhnya dengan otomatis akan ada orang lain yang jadi tak beruntung.

Dalam perjalanan pulang, saya melintasi deretan rumah raksasa di kompleks ini. Yang punya lapangan parkir sendiri. Yang ukurannya layaknya sebuah pusat perbelanjaan. Yang punya dermaga sendiri.

 

Semakin besar rumahnya, semakin kecil kepercayaan diri saya sebagai orang yang sampai sekarang tak bisa punya rumah di ibukota ini.

 

“Kenapa yah, ada orang yang bisa mengoleksi properti sebanyak itu, sementara ada yang seperti saya, bermimpi punya rumah besar saja tak berani”, batinku. Pertanyaan ibu saya yang terus menerus menanyakan kapan saya bisa mulai menyicil rumah di Jakarta terngiang-ngiang lagi.

Sewaktu saya kecil dulu, sebagai orang daerah saya melihat Jakarta sebagai kota tempat mimpi-mimpi diraih. Cerita-cerita di film Indonesia di era itu, dari film Rhoma Irama sampai Warkop DKI semuanya bercerita tentang perjuangan para perantau di Jakarta untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Besar dengan pemahaman itu, garis hidup pun mengijinkan saya untuk ikut dalam kelompok para pengadu nasib ini.

Saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta sekitar 12 tahun lalu. Waktu itu, selepas lulus SMA keluarga saya menghadapi suatu masalah yang membuat saya tidak dapat melanjutkan ke bangku perkuliahan. Oleh seorang kerabat saya pun dikenalkan dengan seorang pengusaha di daerah Kapuk Muara, Jakarta Utara, yang mengajak saya untuk bekerja di tempatnya sekaligus belajar berbisnis.

Berbeda dengan banyak teman yang perjumpaan pertamanya dengan Jakarta adalah Monas, Plaza Senayan, atau kawasan Menteng; Jakarta yang pertama kali saya kenal adalah daerah padat penduduk dan rawan banjir di sekitar Kapuk. Saya tinggal di lantai tiga dari ruko tempat Toko Kimia yang mempekerjakan saya berada. Saya bergaul dengan montir, supir, dan kuli, yang tinggal di pemukiman liar di belakang kompleks ruko kami itu. Saya beberapa kali berjalan-jalan ke tempat tinggal mereka, dan pemandangan yang saya temui tak akan pernah saya lupakan dalam hidup: rumah seadanya dari papan yang berhimpitan satu sama lain, tanpa kamar mandi atau ruang tamu. Tak usah menunggu hujan deras, saat air pasang pun  rumah bisa terendam,

 

Sedekade sudah berlalu, tapi saya ingat nama dan wajah teman-teman saya waktu itu: para perantau yang datang ke Jakarta dengan mimpi untuk sukses.

 

Tanpa modal pendidikan, mereka mungkin memang naif, tapi mereka tak pernah mengeluh. Mereka memanggul karung Soda Api yang membuat punggung melepuh, atau memikul jerigen Asam Sulfat yang jika bocor sedikit menghancurkan daging, hanya untuk beberapa ratus ribu rupiah. Yah, beberapa ratus ribu, dan kadang dibayar dengan uang logam (karena pemilik toko tidak bisa menyetorkan uang logam ke bank, jadi karyawan terima nasib saja pulang membawa koin setumpuk sebagai upah mingguan).

Dengan segala kekikukan karena perbedaan yang begitu besar dengan mereka, saya menikmati saja bergaul dengan teman-teman itu. Mereka adalah guru saya di mata pelajaran ketangguhan dan ketulusan. Dalam belitan utang mereka bisa menertawakan susahnya hidup, dan dalam keterbatasan bahkan mereka masih sempat mentraktir saya. Well, walau traktirannya di Warteg pinggiran yang sambil makan kaki kita tergenang air semata kaki.

Hari ini, jika melihat kembali ke belakang, saya bersyukur bisa menaikkan derajat sosial dan ekonomi saya. Saya mendapatkan bantuan biaya kuliah, bisa bekerja di perusahaan multinasional, dan mendapatkan beasiswa master ke luar negeri. Tapi tetap saja, mimpi paling sederhana di Jakarta, yaitu memiliki rumah, tetap jauh panggang dari api. Kota ini telah ‘memaksa’ warganya untuk pergi ke pinggiran.

Pusat kota telah terlalu padat dan mahal. Mahal karena setiap jengkal tanah yang strategis telah dikapling oleh para tuan tanah baru yang ‘Agung’. Ia, agung. Ada Podomoro dan Sedayu. Warga tiap hari berjuang membeli mimpinya: berdesak-desakan di KRL, berganti-ganti bus, berbatuk-batuk naik motor berjama-jam, untuk menuju ke Jakarta, kota padat yang jadi jantung republik raksasa ini.

Ratusan tahun lalu, Jakarta dikotak-kotakkan secara etnis oleh kolonial. Ada kampung orang Melayu, ada kampung orang Cina di Angke, ada kampung Ambon, dan seterusnya. Saat ini, Jakarta dikotak-kotakkan oleh kesempatan mendapatkan penghidupan yang layak. Ada orang-orang yang telah terlunasi mimpinya, ada orang yang belum namun telah merintis. Saya, anggap saja, masuk kategori ini. Sudahlah, tak perlu saya mengeluh terus. Saya mempunyai pendidikan yang cukup dan jejaring yang memadai, sehingga jika kemalasan tak dipelihara, saya yakin mampu mencapai The Jakarta Dream ini.

Tapi bagaimana dengan teman lama saya, para kuli dan montir itu? Saya tak pernah lagi bertemu dengan mereka, menanyakan kabar, Bisa saja saya di akhir pekan naik Uber ke kantor lama saya, menengok mereka. Keinginan ini sudah beberapa kali saya niatkan, tapi tak terwujud. Setelah kupikir-pikir, hal ini tak terwujud bukan karena tak ingin, tapi tak tega. Saya tak sampai hati membayangkan, dua belas tahun setelah bersama-sama makan nasi dan tempe orek seharga 2500 di warung kebanjiran itu, saya kelak bisa makan malam di London atau Paris dan mereka tetap makan di warung yang sama. Di Jakarta, mimpi mereka tak bisa dilunasi.

Walau menyakitkan, saya sadar bahwa hidup memang tak bisa adil untuk semuanya. Karena itu sambil kembali dari lamunan saya haturkan doa ke Tuhan dan titipkan pesan ke pemimpin : teruslah berjuang untuk membuat mimpi-mimpi tetap hidup di ibukota.


Oleh: Dedi Kusuma Wijaya